Wednesday 11 February 2015

Belajar dari Bapak Editor

         Aku duduk menghadap meja di depanku. Di atas meja itu tampak sebuah tumpukan draft cerpen yang telah dipenuhi dengan coretan. Sejenak kucoba melirik judul besar cerpen itu. "Goresan Keriput". Deg! itu milikku. Aku mulai menerka-nerka apa yang sebentar lagi akan dikatakan oleh pak Eko. Apakah ia akan melempar draft itu ke lantai? ah, kurasa itu berlebihan. Atau jangan-jangan ia akan memakainya untuk membersihkan tangan berminyak karena memakan gorengan yang tersuguh di meja kerjanya? ah, sepertinya dia bukan orang seperti itu. Aku masih berkutat dengan perkiraan di otak sebelum mendengar editorku itu menyebut namaku.
   "Vita", katanya sambil menatapku.
   "Iya pak", jawabku pelan.
   "Saya sudah lihat cerpen kamu. kamu tau hasilnya?", katanya sambil membenarkan letak duduknya. Aku masih terdiam belum bisa menjawab pertanyaan itu karena aku pun belum melihat seluruh koreksian draftku kecuali hanya halaman pertama saja. Lalu beberapa detik kemudian ia berkata,
   "Hancur Vit"
Pyaar..!! rasanya seperti ada gelas yang pecah dalam hatiku, dan pecahan itu menggoreskan sedikit luka perih di sudutnya. Aku hanya menunduk sembari menunggu apa yang terjadi selanjutya.
   "Kalo abis nulis itu diperiksa dulu sebelum diserahin! jangan asal Vit! jangan mentang-mentang ada editor terus penulis jadi ga usah merhatiin tulisannya sendiri!", katanya dengan nada tinggi. 
   "Maaf pak", lagi-lagi aku hanya bisa menjawab dengan suara pelan. Aku menyadari selama ini aku memang hanya fokus pada jalan cerita. Tapi sering kali ejaan dan diksi dalam tulisanku malah aku abaikan begitu saja.
   "Menulis cerita itu bukan hanya berfikir tentang alur, tapi unsur-unsur lain juga harus di perhatikan. Tulisan kamu tidak akan dibilang bagus kalo hasilnya hancur kayak gini. Ejaannya banyak yang salah, diksinya banyak yang kurang tepat, huruf kapitalnya tidak diperhatikan, biar kata alurnya bagus yang baca gak mungkin suka Vit! sebel iya tuh", sampai di sini perkataan pak Eko, aku bisa merasakan kekesalannya. Aku masih tak berani untuk mengangkat wajahku. Rasanya terlalu menakutkan. Namun, tak lama setelah itu tampaknya hatinya mulai melunak. Setelah menarik nafas, ia mulai bicara pelan-pelan dan menasehatiku.
  "Semua kesalahan pada tulisanmu ini memang hanya kesalahan kecil, tapi semua akan menjadi besar kalo kamu mengulanginya di setiap tulisan-tulisanmu. Tidak semestinya kita meremehkan hal yang terlihat kecil. Karna bisa jadi hal yang kecil itu berpengaruh pada sesuatu yang besar".
        Dari nasehat pak Eko aku belajar, terkadang kita terlalu meremehkan hal kecil padahal itu berpengaruh pada suatu hal yang besar. Sering kali pula kita mengandalkan orang lain untuk melakukan hal milik kita yang bisa kita lakukan sendiri. Padahal, jika kita melakukan hal itu sendiri kita bisa mengambil manfaat yang lebih besar ketimbang mengandalkan orang lain.

Semoga kisah ini bermanfaat :)
Albint Wita ^_^

No comments:

Post a Comment