“Maka nikmat tuhanmu yang manakah
yang kamu dustakan”
Ayat
itu selalu terbesit dalam benakku. Rasanya tak pernah sedetikpun dalam hidupku
untuk bisa melupakannya. Ayat yang selalu mengingatkanku pada sosok lelaki
paling kuhormati setelah ayahku.
“
insya Alloh kita bertemu dalam keadaan yang lebih baik suatu saat nanti ning”,
hanya itu kalimat yang dia ucapkan ketika
berpamitan denganku. Padahal aku berharap ia mau mengatakan kemana ia
akan pergi, atau paling tidak dia menjelaskan untuk apa ia harus pergi. Tapi,
mungkin ia tak tau perasaanku.
Setelah
kepergiannya yang diantar dengan isak tangis anak-anak TPQ Al-Falah, ia
benar-benar seperti hilang tanpa jejak, tak ada kabar bahkan sepucuk suratpun
tak pernah ia kirimkan. Hari-hariku
benar-benar seperti sebuah botol kosong,tidak ada lagi yang mengucapkan salam
dengan wajah malu-malu setiap akan masuk kelas TPQ, tidak ada lagi tamu yang
selalu abah panggil ke rumah setiap malam jum’at, tidak ada lagi seseorang yang
selalu mengingatkan anak-anak TPQ untuk selalu bersyukur atas nikmat Alloh.
Ya.. dia tidak hanya memberi kesan padaku saja, anak-anak TPQ Al-Falah, ibu-ibu
pengajian, bahkan abah sendiri juga sering memujinya. Bahkan tak jarang
anak-anak TPQ pun sering mengaku rindu padanya. Itulah yang sering membuatku semakin
merasa kehilangan dia.
Suatu
hari aku pernah disuruh umi untuk pergi ke arisan tetangga, karena umi sedang
tidak enak badan maka aku yang menggantikannya pergi untuk sekedar mengantar
uang arisan tersebut. Saat sampai dirumah Bu Hasan ibu-ibu yang datang di acara
itu lansung menyambutku dengan senyum ramahnya. Tapi senyum ramah itu aku pikir
lebih banyak bukan karena diriku, melainkan Fuad.
“eh,
mbak Aina umi Dzurroh nggak bisa datang ya?”, kata bu Yuli saat aku sampai
diteras tempat ibu-ibu berkumpul bersiap mengundi arisan.
“iya
bu, umi kurang enak badan jadi saya disuruh ngantar uangnya”, jawabku.
“oooo…”,
suara ibu-ibu arisan layaknya percobaan suara sebelum koor dimulai.
“mbak
Aina, katanya mas Fuad udah gak ngajar di TPQ Al-Falah lagi ya mbak? Kenapa
mbak?”, tanya bu azizah. Sontak aku sedikit kaget, bagaimana aku harus
menjawabnya? Sedangkan aku sendiri pun tidak tahu kemana perginya mas Fuad.
“iya
mbak, padahal anak ibu lho suka kalau mas Fuad yang ngajar, langsung bisa faham
katanya mbak”, tambah bu indah yang juga wali santri TPQ Al-Falah.
“eemm,,,
mas Fuad belum ngasih kepastian mau berhenti ngajar kok bu, insya Alloh masih
ada kemungkinan dia akan kembali”, jawabku sekenanya. Ternyata jawabanku cukup
membuat mereka senang.
“ya..
mudah-mudahan aja beneran kembali”, do’a
bu jamilah sang tuan rumah yang di amin-i semua orang yang hadir di arisan itu,
termasuk aku.
“ngomong-ngomong,
kenapa mbak Aina gak nikah aja sama mas Fuad? Kalo di liet-liet kayaknya
cocok,serasi, ya kan ibu-ibu?”, celetuk bu Jamilah yang spontan membuat wajahku
memerah seperti kepiting rebus.
“iya
lho mbak, yang satu ustadz,yang satunya ustadzah, waah.. pasti cocok itu”,
tambah bu Irma. Aku masih berusaha menetralisir warna merah pada wajahku.
Setelah sedikit menarik nafas,aku mencoba bersikap biasa.
“urusan
jodoh kan sudah ada yang mengatur bu, saya sih pasrah saja. Ya sudah kalo gitu
saya pamit dulu bu, umi gak ada yang nemenin di rumah, abah lagi sowan ke kyai
Hasyim, mari bu..”, jawabku yang lagi-lagi aku luncurkan sekenanya sekaligus
berpamitan. Aku tidak bisa membayangkan kalau sampai aku berlama-lama di rumah
bu Jamilah, bisa-bisa sampai rumah aku benar-benar akan menjadi lauk kepiting
rebus untuk makan malam.
Setelah
sholat isya di musholla aku ingin langsung masuk kamar. Entah mengapa rasanya
badanku sakit semua dan ingin segera istirahat.
“gak
ikut ngaji kitab di musholla ning?”, tanya abah saat aku keluar dari musholla.
Abah sedang berbicara dengan bapak Kades perihal perluasan tanah waqaf untuk
TPQ.
“nggak
dulu bah, ning nggak enak badan”, jawabku. Aku segera masuk kamarku, umi yang
duduk di ruang tengah melihatku masuk kamar dengan wajah keheranan.
“ngajinya
udah selesai ning?”, tanya umi dari luar kamar tanpa beranjak dari kursi dan
mesin jahitnya. Aku membuka sedikit pintu kamarku, “ning gak ikut mi, gak enak
badan”, lalu ku tutup lagi pintu kamarku. Tidak ada suara umi lagi, yang aku
dengar hanya suara mesin jahit yang terus bekerja.
Aku
langsung merebahkan diri di atas tempat tidur, sejenak memejamkan mata
tiba-tiba imajinasiku melayang mengingat satu minggu sebelum mas Fuad pergi,
dia memberiku sebuah buku. Ada satu halaman dalam buku itu itu yang belum bisa
aku pahami sampai sekarang.
Satu bintang
di langit terang
Menjamur menjadi
ribuan kerlip ditengah
petang
Mengepak beradu
sayap-sayap elang
Diantara biru
langit lepas memandang
Burung pipit
berkicau diantara padi
yang menguning
Berkabar pada
calon mempelai yang
tengah dipersunting
Dunia
ini tak ubahnya seperti bohlam
Berputar
menurut jadwal alam
Bila
mendung pekat datang merajut
Tempayam
hangat haruslah tetap tersulut….
Siang
dan malam tak pernah bersatu
Namun
mereka selalu memulai pertemuan dan berpisah dengan cara yang indah…
Fajar
& senja…
Hari
ini ulang tahun TPQ Al-Falah, banyak lomba-lomba untuk anak-anak TPQ dan juga
wali santri. Tahun lalu mas Fuad yang jadi panitia acara tahunan ini, aku masih
ingat bagaimana dia sibuk mondar-mandir mencari dana dengan mengajukan proposal
mulai dari kantor desa sampai kecamatan. Tahun ini aku yang harus melakukannya.
Terbayang olehku bagaimana lelahnya, belum lagi kalau staff asatidz dan
ustadzat tidak profesional mengerjakan tugas. Tapi bukan mas Fuad namanya kalau
tidak sabar, dia akan segera mendatangi para staff untuk mengerjakan bersama.
Itulah yang membuat para staff selalu memilihnya untuk menjadi ketua. Aku masih
ingat kata-katanya “kalau anggota kita tidak bisa, jangan lantas dirampas
tugasnya atau melempar pekerjaannya pada orang lain, tapi dekati dan cari tahu
apa yang membuatnya tidak bisa, itu lebih bijaksana ning”. Saat itu aku hanya
berfikir, bagaimana dia bisa bersikap sebijaksana itu padahal ia sudah sangat lelah?
Lagi-lagi jawabannya hanya satu, “itulah mas Fuad”.
@@@@@@
Satu
tahun sudah aku menunggu mas Fuad tanpa kepastian. Sebagai wanita biasa,
terkadang aku pun merasa putus asa. Apalagi saat keluarga pak Mustafa datang ke
rumah, semua menjadi semakin rumit. Aku baru tahu kalau abah dan pak Mustafa
pernah membuat perjanjian di masa lalu untuk menjodohkan anak-anaknya.
“abahmu
dan pak Mustafa sudah berteman sejak dulu ning, bahkan perjodohan itu sudah
sejak kamu berumur 2 tahun”, kata umi saat kami menonton tv. “lagi pula nak
Haris kan juga laki-laki baik ning, insya Alloh sholih”, umi menambahkan. Abah
tampak biasa saja ekspresi wajahnya. Padahal aku ingin penjelasan dari abah.
Aku masih belum bisa menanggapi perkataan umi tentang mas Haris, apalagi menjawab
lamaran keluarganya.
“apa
kamu sedang nunggu seseorang ning?”, pertanyaan abah tiba-tiba membuyarkan
lamunanku. Aku tidak terlalu paham siapa seseorang yang abah maksud, mas Fuad
kah? Tapi bagaimana abah bisa tahu? Apakah sebenarya selama ini abah tahu jika
aku menyukai mas Fuad?
“
maksud abah?”, aku bertanya sedikit gugup. Tapi abah enggan menjawabnya, dan
beranjak dari kursi meletakkan koran di atas meja.
@@@@@@
Seminggu
yang lalu abah menyampaikan jawabanku atas lamaran mas Haris, dan hari ini
adalah saat giliran keluargaku untuk datang ke rumah keluarga pak Mustafa.
Seperti adat orang jawa lainnya calon mempelai putri datang bersama keluarga ke
rumah calon mempelai putra setelah sebelumnya calon mempelai putra pun juga
melakukannya. Betapa terkejut hati ini saat acara dimulai, tiba-tiba mas Fuad
masuk untuk menjadi pemandu acara. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, apa
sesungguhnya rencana Tuhan padaku? Mengapa mas Fuad datang kembali saat aku
nyaris melepaskan perasaanku padanya? Aku ingin menangis, tapi aku tak mungkin
melakukannya. Apa kata orang-orang nanti? Jangan-jangan mereka berfikir
macam-macam. Aku tak sanggup melihat wajah mas Fuad, sekalipun aku tahu sesekali
dia juga memperhatikanku. Sungguh benar-benar keadaan yang sulit.
Setelah
acara selesai dan keluargaku hendak pulang, mas Fuad tampak berdiri di teras
luar rumah. Aku keluar rumah terlebih dahulu dan segera menuju mobil
keluargaku. Sekilas aku melihat abah memeluk mas Fuad erat sebelum abah masuk
mobil. Entah mengapa aku merasa pelukan abah pada mas Fuad lebih erat dibanding
ketika abah memeluk mas Haris.
Meskipun
begitu banyak pertanyaan dalam benakku tentang hubungan mas Fuad dengan acara
tadi, aku tak berani menanyakannya pada abah. Ku ambil buku agenda yang mas
Fuad berikan padaku. Meski aku telah membacanya berkali-kali, tetap saja
tulisan-tulisannya selalu membuatku tersanjung dan semakin kagum padanya.
Pagi ini ia begitu cantik
Berbalut hijab berwarna ungu muda
semi merah jambu
Senyumnya yang menawan bak tetesan
embun di pagi butaku
Menyulam sinergi hangat bagai
mentari yang terbit malu-malu
Tok tok tok suara pintu kamarku diketuk.
“
ning, umi sama abah ,mau bicara sebentar”, kata umi.
“
iya umi, sebentar”, jawabku. Segera ku
kenakan jilbabku dan keluar menuju ruang keluarga tempat abah dan umi
menungguku. Sejenak kami masih berada dalam keheningan, dan seperti biasa umi
akan membuka pembicaraan lebih dulu.
“
abah sama umi pengen tau kesiapan pernikahan kamu ning,tinggal 1 bulan lagi,
apa kamu sudah benar-benar siap?”,kata umi. Aku masih diam. Belum berani angkat
bicara. “abah dan umi ingin yang terbaik untuk kamu ning, kami gak mau ning
menyesal di belakang nanti, jadi apapun yang ning inginkan, katakan saja”, kata
umi sambil mengusap sedikit air matanya. Abah yang sedari tadi hanya diam,
mulai angkat bicara. Tapi lagi-lagi pertanyaan abah terdengar aneh. Abah
menyodorkan pertanyaan yang mengarah pada mas Fuad. Aku semakin bingung, sampai
akhirnya abah membuka semuanya.
“
sebenarnya abah tau ning suka sama Fuad, dan Fuad pun juga suka sama ning, tapi
abah juga tidak bisa mengingkari janji abah pada keluarga Pak Mustafa sahabat
abah, apalagi pak Mustafa adalah pak lik Fuad sendiri”, seperti tersambar petir
aku mendengar pengakuan abah. “ satu minggu sebelum Fuad pergi, dia sudah
melamarmu ning, tapi abah menolaknya karena janji abah dengan pak Mustafa untuk
menjodohkanmu dengan Haris. Abah tau Fuad anak yang sangat baik, abah pun suka,
tapi abah juga tidak bisa berbuat apa-apa”, kata abah dengan wajah penuh
penyesalan. Aku pun tak tega melihatnya. Jika boleh jujur aku pun ingin
mengatakan pada abah, kenapa harus ada perjanjian itu bah? Kenapa ning harus
dipisahkan dengan lelaki yang mencintai ning dan ning cintai? dan kenapa baru
sekarang abah bicara?, umi sudah sesenggukan dengan tangisnya. Mungkin kasihan
melihat anak gadisnya harus menjadi korban perjodohan yang awalnya hanya
dianggap permainan. Tapi toh percuma, kalaupun aku batalkan pernikahan ini
hanya akan menimbulkan rasa malu kedua keluarga. Apalagi jika semua orang tahu
bahwa penyebabnya adalah mas Fuad, akan lebih besar lagi permasalahannya.
Akupun hanya bisa pasrah pada Tuhan dan memohon selalu ridloNYA. Dengan mas
Fuad ataupun mas Haris, aku hanya berharap nantinya aku akan bahagia.
@@@@@@
Satu
minggu menjelang hari pernikahanku tiba-tiba pak mustafa dan istrinya datang ke
rumah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Abah dan umi kaget, begitu juga aku.
Namun demikian kami mencoba berpikir positive. Aku tak ikut menemui mereka.
Hanya abah dan umi yang menemui. Tapi aku masih bisa mendengar pembicaraan
mereka karena kamarku berdekatan dengan ruang tamu.
“
apa? Kapan itu kejadiannya? Bagaimana mungkin Haris melakukan itu?”, kata umi
kaget dan tangisnya pun pecah.
“
kami benar-benar minta maaf umi Dzurroh, abah, semua ini bukan kehendak kami”,
bu mustafa pun tak bisa menahan tangisnya. Aku yang berada dibalik pintu
kamarku terkulai lemas dilantai. Aku benar-benar tak habis fikir, lelaki yang
sudah membuatku bisa mencoba melupakan cinta pertamaku, berbuat hal keji dengan
menghamili perempuan lain. Dosa apa yang telah kulakukan hingga aku harus
menerima musibah ini ?.
Aku tak mau
keluar rumah semenjak mendengar berita mas Haris, bahkan keluar kamar pun aku
enggan. Betapa terpukulnya hatiku mengingat bahwa sebenarnya hari jum’at
besok adalah hari bahagiaku, kini pupus
sudah mimpi itu. Mirisnya hati ini bila membuka lemari pakaianku dan baju pengantin
menggantung disana. Belum lagi membayangkan betapa malunya abah dan umi pada
semua orang karena undangan sudah tersebar. Dalam keadaan seperti ini aku
kembali teringat pada mas Fuad. Ingin ku ceritakan sedihku padanya. Tapi itu
tak mungkin, karena mas Fuad sudah berada di London semenjak 1 minggu yang lalu. Hatiku semakin sedih tak karuan.
Nafsu makanku pun ikut menghilang. Umi dan abah mulai khawatir dengan
keadaanku.
@@@@@@
Suatu malam
badanku masih menggigil karena demam, abah memanggil dokter untuk memeriksaku.
Setelah meminum obat yang diberikan dokter, aku baru dapat tidur dengan
nyenyak. Dalam tidurku aku merasa bermimpi bertemu dengan mas Fuad, aku
mengadukan seluruh kesedihanku dan menangis dihadapannya. Tiba-tiba mas Fuad
memelukku dan mencium keningku, lalu kemudian ia mencium kedua tanganku dan
menggenggamnya erat. Tapi lama kelamaan aku merasa ini bukan mimpi. Akupun
terbangun dari tidurku, betapa terkejutnya aku ketika membuka mata, ternyata
aku berada dalam pelukan seseorang.
“mas
Fuad????”, seruku kaget dengan suara tercekat saat melihat bahwa lelaki yang
memelukku adalah mas Fuad. Tapi mas fuad seperti tak menghiraukan rasa kagetku,
ia kembali mencium keningku. Aku berusaha mengelak dan melepaskan diri darinya,
tapi ia semakin mendekapku erat, lalu berbisik didekat telingaku “ jangan
khawatir ning, kita sudah halal”, bisiknya seraya tersenyum padaku. Aku masih
heran tapi ragaku masih terlalu lemah untuk bertanya. Akhirnya mas Fuad pun
menjelaskan bahwa ia baru datang dari London sore tadi dan seusai isya’ akad
ijab qobul diikrarkan olehnya dihadapan abah dan jama’ah shalat isya’ masjid
Al-Falah. Subhanalloh aku bertasbih dalam hatiku.
Esok harinya
yang sebenarnya adalah hari penikahanku dengan Mas Haris akhirnya terlaksana
juga, hanya saja aku tidak menikah dengan Mas Haris melainkan dengan Mas Fuad.
Puji syukur terus kupanjatkan pada Alloh SWT.
“Fabi ayyi
aalaa-I robbikumaa tukadzibaan”,bisik Mas Fuad padaku. Aku pun hanya tersenyum.
TAMAT
Albint_wita
sekadar masuk numpang baca, sebgai pembaca yang baik.
ReplyDeletetulisannya bagus,
tapi saya melihat kurang fokus pada satu anggle tulisannya, he2x...
bedanya cerpen ma novelkan, lw cerpen ckup satu alur cerita (bukan sok tahu ya) he2x
kutunggu tulisan berikutnya
like it...^_^
ReplyDeletethanks :)
ReplyDelete