Friday 6 February 2015

Alunan Ayat Rindu



“Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”
            Ayat itu selalu terbesit dalam benakku. Rasanya tak pernah sedetikpun dalam hidupku untuk bisa melupakannya. Ayat yang selalu mengingatkanku pada sosok lelaki paling kuhormati setelah ayahku.
            “ insya Alloh kita bertemu dalam keadaan yang lebih baik suatu saat nanti ning”, hanya itu kalimat yang dia ucapkan ketika  berpamitan denganku. Padahal aku berharap ia mau mengatakan kemana ia akan pergi, atau paling tidak dia menjelaskan untuk apa ia harus pergi. Tapi, mungkin ia tak tau perasaanku.
            Setelah kepergiannya yang diantar dengan isak tangis anak-anak TPQ Al-Falah, ia benar-benar seperti hilang tanpa jejak, tak ada kabar bahkan sepucuk suratpun tak pernah ia kirimkan.  Hari-hariku benar-benar seperti sebuah botol kosong,tidak ada lagi yang mengucapkan salam dengan wajah malu-malu setiap akan masuk kelas TPQ, tidak ada lagi tamu yang selalu abah panggil ke rumah setiap malam jum’at, tidak ada lagi seseorang yang selalu mengingatkan anak-anak TPQ untuk selalu bersyukur atas nikmat Alloh. Ya.. dia tidak hanya memberi kesan padaku saja, anak-anak TPQ Al-Falah, ibu-ibu pengajian, bahkan abah sendiri juga sering memujinya. Bahkan tak jarang anak-anak TPQ pun sering mengaku rindu padanya. Itulah yang sering membuatku semakin merasa kehilangan dia.
            Suatu hari aku pernah disuruh umi untuk pergi ke arisan tetangga, karena umi sedang tidak enak badan maka aku yang menggantikannya pergi untuk sekedar mengantar uang arisan tersebut. Saat sampai dirumah Bu Hasan ibu-ibu yang datang di acara itu lansung menyambutku dengan senyum ramahnya. Tapi senyum ramah itu aku pikir lebih banyak bukan karena diriku, melainkan Fuad.
            “eh, mbak Aina umi Dzurroh nggak bisa datang ya?”, kata bu Yuli saat aku sampai diteras tempat ibu-ibu berkumpul bersiap mengundi arisan.
            “iya bu, umi kurang enak badan jadi saya disuruh ngantar uangnya”, jawabku.
            “oooo…”, suara ibu-ibu arisan layaknya percobaan suara sebelum koor dimulai.
            “mbak Aina, katanya mas Fuad udah gak ngajar di TPQ Al-Falah lagi ya mbak? Kenapa mbak?”, tanya bu azizah. Sontak aku sedikit kaget, bagaimana aku harus menjawabnya? Sedangkan aku sendiri pun tidak tahu kemana perginya mas Fuad.
            “iya mbak, padahal anak ibu lho suka kalau mas Fuad yang ngajar, langsung bisa faham katanya mbak”, tambah bu indah yang juga wali santri TPQ Al-Falah.
            “eemm,,, mas Fuad belum ngasih kepastian mau berhenti ngajar kok bu, insya Alloh masih ada kemungkinan dia akan kembali”, jawabku sekenanya. Ternyata jawabanku cukup membuat mereka senang.
            “ya.. mudah-mudahan  aja beneran kembali”, do’a bu jamilah sang tuan rumah yang di amin-i semua orang yang hadir di arisan itu, termasuk aku.
            “ngomong-ngomong, kenapa mbak Aina gak nikah aja sama mas Fuad? Kalo di liet-liet kayaknya cocok,serasi, ya kan ibu-ibu?”, celetuk bu Jamilah yang spontan membuat wajahku memerah seperti kepiting rebus.
            “iya lho mbak, yang satu ustadz,yang satunya ustadzah, waah.. pasti cocok itu”, tambah bu Irma. Aku masih berusaha menetralisir warna merah pada wajahku. Setelah sedikit menarik nafas,aku mencoba bersikap biasa.
            “urusan jodoh kan sudah ada yang mengatur bu, saya sih pasrah saja. Ya sudah kalo gitu saya pamit dulu bu, umi gak ada yang nemenin di rumah, abah lagi sowan ke kyai Hasyim, mari bu..”, jawabku yang lagi-lagi aku luncurkan sekenanya sekaligus berpamitan. Aku tidak bisa membayangkan kalau sampai aku berlama-lama di rumah bu Jamilah, bisa-bisa sampai rumah aku benar-benar akan menjadi lauk kepiting rebus untuk makan malam.
            Setelah sholat isya di musholla aku ingin langsung masuk kamar. Entah mengapa rasanya badanku sakit semua dan ingin segera istirahat.
            “gak ikut ngaji kitab di musholla ning?”, tanya abah saat aku keluar dari musholla. Abah sedang berbicara dengan bapak Kades perihal perluasan tanah waqaf untuk TPQ.
            “nggak dulu bah, ning nggak enak badan”, jawabku. Aku segera masuk kamarku, umi yang duduk di ruang tengah melihatku masuk kamar dengan wajah keheranan.
            “ngajinya udah selesai ning?”, tanya umi dari luar kamar tanpa beranjak dari kursi dan mesin jahitnya. Aku membuka sedikit pintu kamarku, “ning gak ikut mi, gak enak badan”, lalu ku tutup lagi pintu kamarku. Tidak ada suara umi lagi, yang aku dengar hanya suara mesin jahit yang terus bekerja.
            Aku langsung merebahkan diri di atas tempat tidur, sejenak memejamkan mata tiba-tiba imajinasiku melayang mengingat satu minggu sebelum mas Fuad pergi, dia memberiku sebuah buku. Ada satu halaman dalam buku itu itu yang belum bisa aku pahami sampai sekarang.
Satu  bintang  di langit  terang
Menjamur  menjadi  ribuan  kerlip  ditengah  petang
Mengepak  beradu  sayap-sayap  elang
Diantara  biru  langit  lepas  memandang
Burung  pipit  berkicau  diantara  padi  yang  menguning
Berkabar  pada  calon  mempelai  yang  tengah  dipersunting
Dunia ini tak ubahnya seperti bohlam
Berputar menurut jadwal alam
Bila mendung pekat datang merajut
Tempayam hangat haruslah tetap tersulut….
Siang dan malam tak pernah bersatu
Namun mereka selalu memulai pertemuan dan berpisah dengan cara yang indah…
Fajar & senja…
            Hari ini ulang tahun TPQ Al-Falah, banyak lomba-lomba untuk anak-anak TPQ dan juga wali santri. Tahun lalu mas Fuad yang jadi panitia acara tahunan ini, aku masih ingat bagaimana dia sibuk mondar-mandir mencari dana dengan mengajukan proposal mulai dari kantor desa sampai kecamatan. Tahun ini aku yang harus melakukannya. Terbayang olehku bagaimana lelahnya, belum lagi kalau staff asatidz dan ustadzat tidak profesional mengerjakan tugas. Tapi bukan mas Fuad namanya kalau tidak sabar, dia akan segera mendatangi para staff untuk mengerjakan bersama. Itulah yang membuat para staff selalu memilihnya untuk menjadi ketua. Aku masih ingat kata-katanya “kalau anggota kita tidak bisa, jangan lantas dirampas tugasnya atau melempar pekerjaannya pada orang lain, tapi dekati dan cari tahu apa yang membuatnya tidak bisa, itu lebih bijaksana ning”. Saat itu aku hanya berfikir, bagaimana dia bisa bersikap sebijaksana itu padahal ia sudah sangat lelah? Lagi-lagi jawabannya hanya satu, “itulah mas Fuad”.
@@@@@@
            Satu tahun sudah aku menunggu mas Fuad tanpa kepastian. Sebagai wanita biasa, terkadang aku pun merasa putus asa. Apalagi saat keluarga pak Mustafa datang ke rumah, semua menjadi semakin rumit. Aku baru tahu kalau abah dan pak Mustafa pernah membuat perjanjian di masa lalu untuk menjodohkan anak-anaknya.
            “abahmu dan pak Mustafa sudah berteman sejak dulu ning, bahkan perjodohan itu sudah sejak kamu berumur 2 tahun”, kata umi saat kami menonton tv. “lagi pula nak Haris kan juga laki-laki baik ning, insya Alloh sholih”, umi menambahkan. Abah tampak biasa saja ekspresi wajahnya. Padahal aku ingin penjelasan dari abah. Aku masih belum bisa menanggapi perkataan umi tentang mas Haris, apalagi menjawab lamaran keluarganya.
            “apa kamu sedang nunggu seseorang ning?”, pertanyaan abah tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku tidak terlalu paham siapa seseorang yang abah maksud, mas Fuad kah? Tapi bagaimana abah bisa tahu? Apakah sebenarya selama ini abah tahu jika aku menyukai mas Fuad?
            “ maksud abah?”, aku bertanya sedikit gugup. Tapi abah enggan menjawabnya, dan beranjak dari kursi meletakkan koran di atas meja.
@@@@@@
            Seminggu yang lalu abah menyampaikan jawabanku atas lamaran mas Haris, dan hari ini adalah saat giliran keluargaku untuk datang ke rumah keluarga pak Mustafa. Seperti adat orang jawa lainnya calon mempelai putri datang bersama keluarga ke rumah calon mempelai putra setelah sebelumnya calon mempelai putra pun juga melakukannya. Betapa terkejut hati ini saat acara dimulai, tiba-tiba mas Fuad masuk untuk menjadi pemandu acara. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, apa sesungguhnya rencana Tuhan padaku? Mengapa mas Fuad datang kembali saat aku nyaris melepaskan perasaanku padanya? Aku ingin menangis, tapi aku tak mungkin melakukannya. Apa kata orang-orang nanti? Jangan-jangan mereka berfikir macam-macam. Aku tak sanggup melihat wajah mas Fuad, sekalipun aku tahu sesekali dia juga memperhatikanku. Sungguh benar-benar keadaan yang sulit.
            Setelah acara selesai dan keluargaku hendak pulang, mas Fuad tampak berdiri di teras luar rumah. Aku keluar rumah terlebih dahulu dan segera menuju mobil keluargaku. Sekilas aku melihat abah memeluk mas Fuad erat sebelum abah masuk mobil. Entah mengapa aku merasa pelukan abah pada mas Fuad lebih erat dibanding ketika abah memeluk mas Haris.
            Meskipun begitu banyak pertanyaan dalam benakku tentang hubungan mas Fuad dengan acara tadi, aku tak berani menanyakannya pada abah. Ku ambil buku agenda yang mas Fuad berikan padaku. Meski aku telah membacanya berkali-kali, tetap saja tulisan-tulisannya selalu membuatku tersanjung dan semakin kagum padanya.
            Pagi ini ia begitu cantik
            Berbalut hijab berwarna ungu muda semi merah jambu
            Senyumnya yang menawan bak tetesan embun di pagi butaku
            Menyulam sinergi hangat bagai mentari yang terbit malu-malu
Tok tok tok suara pintu kamarku diketuk.
            “ ning, umi sama abah ,mau bicara sebentar”, kata umi.
            “ iya umi, sebentar”, jawabku.  Segera ku kenakan jilbabku dan keluar menuju ruang keluarga tempat abah dan umi menungguku. Sejenak kami masih berada dalam keheningan, dan seperti biasa umi akan membuka pembicaraan lebih dulu.
            “ abah sama umi pengen tau kesiapan pernikahan kamu ning,tinggal 1 bulan lagi, apa kamu sudah benar-benar siap?”,kata umi. Aku masih diam. Belum berani angkat bicara. “abah dan umi ingin yang terbaik untuk kamu ning, kami gak mau ning menyesal di belakang nanti, jadi apapun yang ning inginkan, katakan saja”, kata umi sambil mengusap sedikit air matanya. Abah yang sedari tadi hanya diam, mulai angkat bicara. Tapi lagi-lagi pertanyaan abah terdengar aneh. Abah menyodorkan pertanyaan yang mengarah pada mas Fuad. Aku semakin bingung, sampai akhirnya abah membuka semuanya.
            “ sebenarnya abah tau ning suka sama Fuad, dan Fuad pun juga suka sama ning, tapi abah juga tidak bisa mengingkari janji abah pada keluarga Pak Mustafa sahabat abah, apalagi pak Mustafa adalah pak lik Fuad sendiri”, seperti tersambar petir aku mendengar pengakuan abah. “ satu minggu sebelum Fuad pergi, dia sudah melamarmu ning, tapi abah menolaknya karena janji abah dengan pak Mustafa untuk menjodohkanmu dengan Haris. Abah tau Fuad anak yang sangat baik, abah pun suka, tapi abah juga tidak bisa berbuat apa-apa”, kata abah dengan wajah penuh penyesalan. Aku pun tak tega melihatnya. Jika boleh jujur aku pun ingin mengatakan pada abah, kenapa harus ada perjanjian itu bah? Kenapa ning harus dipisahkan dengan lelaki yang mencintai ning dan ning cintai? dan kenapa baru sekarang abah bicara?, umi sudah sesenggukan dengan tangisnya. Mungkin kasihan melihat anak gadisnya harus menjadi korban perjodohan yang awalnya hanya dianggap permainan. Tapi toh percuma, kalaupun aku batalkan pernikahan ini hanya akan menimbulkan rasa malu kedua keluarga. Apalagi jika semua orang tahu bahwa penyebabnya adalah mas Fuad, akan lebih besar lagi permasalahannya. Akupun hanya bisa pasrah pada Tuhan dan memohon selalu ridloNYA. Dengan mas Fuad ataupun mas Haris, aku hanya berharap nantinya aku akan bahagia.
@@@@@@
            Satu minggu menjelang hari pernikahanku tiba-tiba pak mustafa dan istrinya datang ke rumah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Abah dan umi kaget, begitu juga aku. Namun demikian kami mencoba berpikir positive. Aku tak ikut menemui mereka. Hanya abah dan umi yang menemui. Tapi aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka karena kamarku berdekatan dengan ruang tamu.
            “ apa? Kapan itu kejadiannya? Bagaimana mungkin Haris melakukan itu?”, kata umi kaget dan tangisnya pun pecah.
            “ kami benar-benar minta maaf umi Dzurroh, abah, semua ini bukan kehendak kami”, bu mustafa pun tak bisa menahan tangisnya. Aku yang berada dibalik pintu kamarku terkulai lemas dilantai. Aku benar-benar tak habis fikir, lelaki yang sudah membuatku bisa mencoba melupakan cinta pertamaku, berbuat hal keji dengan menghamili perempuan lain. Dosa apa yang telah kulakukan hingga aku harus menerima musibah ini ?.
Aku tak mau keluar rumah semenjak mendengar berita mas Haris, bahkan keluar kamar pun aku enggan. Betapa terpukulnya hatiku mengingat bahwa sebenarnya hari jum’at besok  adalah hari bahagiaku, kini pupus sudah mimpi itu. Mirisnya hati ini bila membuka lemari pakaianku dan baju pengantin menggantung disana. Belum lagi membayangkan betapa malunya abah dan umi pada semua orang karena undangan sudah tersebar. Dalam keadaan seperti ini aku kembali teringat pada mas Fuad. Ingin ku ceritakan sedihku padanya. Tapi itu tak mungkin, karena mas Fuad sudah berada di London semenjak 1 minggu  yang lalu. Hatiku semakin sedih tak karuan. Nafsu makanku pun ikut menghilang. Umi dan abah mulai khawatir dengan keadaanku.
@@@@@@
Suatu malam badanku masih menggigil karena demam, abah memanggil dokter untuk memeriksaku. Setelah meminum obat yang diberikan dokter, aku baru dapat tidur dengan nyenyak. Dalam tidurku aku merasa bermimpi bertemu dengan mas Fuad, aku mengadukan seluruh kesedihanku dan menangis dihadapannya. Tiba-tiba mas Fuad memelukku dan mencium keningku, lalu kemudian ia mencium kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Tapi lama kelamaan aku merasa ini bukan mimpi. Akupun terbangun dari tidurku, betapa terkejutnya aku ketika membuka mata, ternyata aku berada dalam pelukan seseorang.
“mas Fuad????”, seruku kaget dengan suara tercekat saat melihat bahwa lelaki yang memelukku adalah mas Fuad. Tapi mas fuad seperti tak menghiraukan rasa kagetku, ia kembali mencium keningku. Aku berusaha mengelak dan melepaskan diri darinya, tapi ia semakin mendekapku erat, lalu berbisik didekat telingaku “ jangan khawatir ning, kita sudah halal”, bisiknya seraya tersenyum padaku. Aku masih heran tapi ragaku masih terlalu lemah untuk bertanya. Akhirnya mas Fuad pun menjelaskan bahwa ia baru datang dari London sore tadi dan seusai isya’ akad ijab qobul diikrarkan olehnya dihadapan abah dan jama’ah shalat isya’ masjid Al-Falah. Subhanalloh aku bertasbih dalam hatiku.
Esok harinya yang sebenarnya adalah hari penikahanku dengan Mas Haris akhirnya terlaksana juga, hanya saja aku tidak menikah dengan Mas Haris melainkan dengan Mas Fuad. Puji syukur terus kupanjatkan pada Alloh SWT.
“Fabi ayyi aalaa-I robbikumaa tukadzibaan”,bisik Mas Fuad padaku. Aku pun hanya tersenyum.
TAMAT

Albint_wita

3 comments:

  1. sekadar masuk numpang baca, sebgai pembaca yang baik.
    tulisannya bagus,
    tapi saya melihat kurang fokus pada satu anggle tulisannya, he2x...
    bedanya cerpen ma novelkan, lw cerpen ckup satu alur cerita (bukan sok tahu ya) he2x

    kutunggu tulisan berikutnya

    ReplyDelete